Pages

Saturday, June 25, 2011

Jalan Raya Pos, Jalan Daendels Part 2

"Bukan soal kalah atau menang itu. Soalnya selalu : benar atau tidak benar. Adil atau tidak adil"






Batavia
Dua puluh lima kilometer ke timur Jalan Raya Pos sampai ke Batavia, kota yang dibangun oleh Jan Pietersz Coen. Pada mulanya Batavia adalah benteng yang dibangunnya dan diresmikan pada 12 maret 1619 untuk kemudian menghapus lagi nama tersebut. Tidak lebih dari 2 bulan kemudian, yaitu pada tanggal 30 Mei 1619 Kompeni Belanda di bawah pimpinan Coen menyerbu istana Adipati Jayakarta dan diberitakan dengan kerugian hanya seorang serdadu tewas. Dalam perkembangannya kemudian Batavia menjadi ibukota kerajaan dunia Belanda di Asia dan Afrika, mengakhiri pelayaran liar (wilde vaart) Kompeni, karena sekarang telah ada tujuan yang pasti. Yang dinamai Batavia semasa Coen adalah Jakarta kota dewasa ini, yakni Kodya Jakarta Utara tanpa Kepulauan Seribu.


Kota Batavia dibangun menurut pola kota Belanda dengan sejumlah kanal, jalan raya, dan gedung. Tenaga kerja diambil dari tawanan perang dan budak belian, dan orang-orang Tionghoa yang diculiki dari pantai selatan Tiongkok. Orang-orang Tionghoa inilah yang kemudian dengan jiwanya yang lebih mandiri dan merdeka serta kerajinannya yang dengan luar biasa berhasil meninggalkan statusnya sebagai pekerja paksa dan menjadi pengusaha, pedagang, menguasi sektor ekonomi masyarakat Batavia.

Untuk keamanan Batavia, Coen membangun 4 benteng, masing-masing dinamai dengan nama-nama batu mulia. Maka penduduk menamai empat serangkai benteng kota tersebut dengan nama Kota Intan. Kompeni Belanda sudah sejak lahirnya adalah sebuah usaha dagang. Langkah Coen menguasai Jakarta membuat Kompeni Belanda terlibat dalam usaha menguasai wilayah secara permanen. Dari sini muncul polemik sepanjang sejarah Kompeni Belanda atau VOC, apa yang penting bagi kompeni? berdagang atau berkuasa?. Memang VOC lebih mudah mendapatkan keuntungan melalui perdagangan, akan tetapi berdagang saja tidak mungkin. Pertama karena raja-raja Pribumi, yang tak pernah melihat berkembangnya golongan menengah, belum mengerti makna perjanjian dagang. Mereka mendasarkan semuanya pada kekuasaan pribadi sebagai raja semata. Demi menyelamatkan kepentingan dagangnya, semua Kompeni asing tersebut memerlukan kekuatan militer dengan benteng-benteng setempat. Akibat kelanjutannya adalah penguasaan wilayah dan penjajahan atas bangsa-bangsa produsen komoditi. Dalam abad-abad selanjutnya dunia non-Eropa praktis telah terjajah oleh bangsa-bangsa Eropa. Dana dan daya dunia non-Eropa tersedot tanpa henti untuk kekayaan, kemakmuran, kekuatan, dan kemajuan Eropa.

Batavia berpenduduk multi-rasial dan multi-etnis sejak didirikan oleh Coen. Para tawanan perang tinggal di kamp-kamp tawanan yang terbagi menurut ras atau etniknya seperti kampung Bali, kampung Jawa, kampung Ambon, Kampung Bandan (harusnya Banda), Kampung Arab, Kampung Koja, Kampung Melayu, Kampung Bugis. Sebagian budak-budak India yang dibebaskan Kompeni dinamai Mardijkers, sedang orang-orang Tionghoa ada yang berhasil menebus kebebasannya dan membangun kampung cina sendiri yang lebih dikenala dengan nama Pecinan. Kata kamp ini kemudian diserap dalam bahasa Melayu/Indonesia menjadi Kampung.

Daendels kemudian memperluas Batavia lebih ke pedalaman. Waktu itu Batavia, yang terkepung oleh rawa-rawa pantai sangat tidak sehat. Dalam pembangunan tahap pertama semasa Coen tidak kurang dari sepertiga pekertja dari berbagai bangsa dan etnis tewas tersapu malaria. Untuk membuat Batavia lebih sehat, Daendels memrintahkan menghacurkan benteng-benteng kota Intan agar kota mendapatkan hawa lebih segar. Perluasan ke selatan menggunakan wilayah Gambir, yang oleh Belanda dinamai Weltevreden. Ia membangun istana baru di seberang timur lapangan Banteng (terjemahan dari nama Belanda: Buffeveld) dengan kandang-kandang untuk kereta dan kudanya.

Untuk menangkal serbuan Inggris tanpa benteng kota, ia pusatkan pertahanannya lebih ke selatan Weltevreden, ke Meester Cornelis (Jatinegara), yang untuk waktu yang lama oleh penduduk Batavia disebut Mester, kemudian dinamai Jatinegara. Ini artinya bahwa jalan-jalan di Batavia semasa Daendels telah memenuhi syarat untuk pengangkutan militer dari Meester Cornelis sampai ke pelabuhan Sunda Kelapa.

Dalam masa pemerintahan Daendels, Weltevreden ia sulap menjadi pemukiman, perkantoran sipil, maupun militer yang mempesona. Dan waktu ia meninggalkan Jawa, istana yang dibangunnya belum sepenuhnya selesai pemasangan atapnya. Sebagai bukti ia telah menularkan mutiara Revolusi Prancis, ia bangun gedung gereja Katholik yang besar, megah, menjulang tinggi, menurut tradisi Katholik.

Nama Batavia kemudian hilang dari peta sejarah pada bulan-bulan pertama pendaratan bala tentara Jepang. Melalui keputusan pemerintah pendudukan Jepang, nama itu diubah menjadi Jakarta sesuai dengan keinginan kaum Nasionalis. Jakarta sebagai kota Proklamasi mengalami kebangkitan dari kelesuan pendudukan Jepang pada Agustus 1945. Di luar dugaan penduduk yang kelaparan dan hanya memiliki sisa terakhir kekuatannya bersorak menyambut kemerdekaan nasionalnya sendiri. Sejak itu Indonesia milik nasion Indonesia.

Namun Jakarta juga kota pertama-tama yang merasakan akibat Proklamasinya. Sekutu, di sini Inggris, pemenang Perang Dunia II, kemudian juga bersama Belanda, tidak bisa melihat bangsa yang ratusan tahun jadi sumber penghisapannya bangkit merdeka jadi dirinya sendiri. Juga sisa-sisa Bala tentara Jepang yang tak bisa melihat bangsa yang begitu dalam dihinakannya, bangkit merdeka, keluar dari tangsi-tangsinya secara liar dan menyebabkan teror. Orang-orang Indonesia yang kelaparan dan setengah kelaparan, tanpa senjata perang, melawan dan dengan demikian revolusi fisik pecah, bangsa jajahan melawan para bekas majikannya.


Meester Cornelis/Jatinegara
Nama Meester Cornelis adalah nama orang Indonesia dari Banda. Ia datang ke Batavia sebagai tawanan perang Kompeni Belanda. Nama pribadinya adalah Cornelis Senen. Nama depan Meester sebenarnya tak lain dari gelar yang diberikan kepadanya oleh Kompeni. Sama dengan Master dalam bahasa Inggris. Jabatannya sejak di Banda adalah penginjil/guru agama. Gelar Meester diberikan kepadanya karena dalam kawasan Nusantara yang dikuasai Kompeni Belanda ia satu-satunya yang menguasai bahasa Portugis, Spanyol, dan konon juga Inggris dan Belanda. Karena jasa-jasanya, Belanda mengkaruniainya dengan sebidang tanah di tempat yang kemudian dinamai Meester Cornelis pada 1661.
Semasa kekuasaan Kompeni Belanda, Meester Cornelis terdiri sepenuhnya atas tanah-tanah swasta, dan pada pokoknya diperuntukkan perkebunan kelapa dan pertanian sawah, dan juga perkebunan tebu. Setelah Daendels memindahkan pusat pertahanan Batavia, tempat ini menjadi kota militer dengan tangsi-tangsi besar dan pernah juga terdapat sekolah militer, yaitu kursus pendidikan perwira, dan sekolah teknik pembikinan senjata. Belanda juga mendirikan penjara pusat sipil yang besar di Cipinang dan rumah tahanan Bukitduri.
Semasa kekuasaan Kompeni, Jalan Raya Pos menghubungkan Meester Cornelis dengan bagian Batavia kota sehingga dalam waktu singkat tempat ini juga menjadi pemukiman yang menyenangkan, lebih sehat daripada di bagian kota lama. Dalam masa kemerdekaan tanah-tanah swasta sama sekali telah terhapus. Gedung-gedung baru bermunculan, berdesakan antara instansi pemerintahan dan perdagangan. Dan seperti di sektor-sektor lain dari wilayah khusus ibukota Negara Republik Indonesia, juga tempat ini nampak semrawut tidak terkendali pertumbuhannya.


Depok
Jalan Raya Pos membentang ke selatan sepanjang 22 kilometer melalui pasar minggu, Lenteng agung, dan Pondok Cina sampai Depok. Dari namanya, Lenteng Agung dan Pondok Cina, dengan mudah orang dapat membayangkan, dulu di dua tempat tersebut pernah berdiri sebuah kelenteng besar dan pemukiman penduduk Tionghoa. Wilayah kiri-kanan jalan sampai Depok pun dahulu merupakan tanah swasta milik orang Eropa atau Tionghoa. Depok sendiri semasa Kompeni Belanda alias VOC adalah milik C. Chastelein, anggota Dewan Hindia alias Pemerintahan Agung Hindia, yang dibelinya seharga 700 ringgit.

Berdasarkan surat wasiat tertanggal 13 Maret 1714 tanah swastanya ia serahkan pada budak-beliannya yang beragama Kristen dan keturunannya, dengan syarat bahwa untuk selamanya tanah tersebut menjadi milik dan garapan bersama, tanpa boleh dijual, disewakan, atau digadaikan. Syarat lain disebutkan tak bolehnya orang Tionghoa tinggal di situ, tak boleh terjadi jual beli candu dan berjudi. Para budak yang dibebaskannya berasal dari Bali, Sulawesi, Timor, dan lain-lain, sejumlah kira-kira 200 orang. 200 ratus tahun kemudian, pada 1915 jumlah masyarakat bekas budak di Depok telah berjumlah 748 penduduk yang mempunyai hak atas tanah tersebut. Mereka menjadi masyarakat tersendiri di tengah-tengah masyarakat besar yang beragama Islam.

Dimulai dengan jatuhnya Hindia Belanda pada tahun 1942, lebih-lebih semasa Revolusi yang bersambung dengan kemerdekaan nasional, keeksklusifan masyarakat Kristen Depok tidak dapat bertahan terhadap perubahan politik. Juga tanah mereka sudah tak bisa dipertahankan sesuai dengan surat wasiat Chastelein.


Buitenzorg/Bogor
Dua puluh kilometer di selatan Depok, Jalan Raya Pos sampai ke Bogor. Semasa kolonial lebih dikenal dengan nama Buitenzorg, terjemahan dari Prancis, Sans Souci, yang berarti : tanpa beban pikiran. Pembangunan Jalan Raya Pos dari Batavia sampai Bogor diberitakan lancar saja. Artinya tak diberitakan ada korban yang jatuh. Bahwa tak ada kurban yang jatuh rasanya tidak mungkin karena dasarnya adalah kerjapaksa, birokrasi Kompeni yang korup, dan pembesar-pembesar pribumi yang sama korupnya. Jadi sama halnya dengan pembangunan jalan dari Anyer ke Batavia, "aman-aman saja".
Buittenzorg terkenal secara internasional karena kebun rayanya yang memiliki koleksi tumbuhan terkaya di dunia pada masa itu. Wilayah ini juga terkenal dengan tingginya curah hujan, rata-rata dalam setahun 432 cm, sehingga kota Buitenzorg/Bogor mendapatkan julukan Kota Hujan. Disamping itu juga yang membuat kota ini terkenal adalah adanya batu bertulis bertahun 1355 Saka (1433 Masehi) dengan inskripsi dalam bahasa Sunda Kuno dan batu dengan gambar dua tapak kaki di sampingnya.

Sekitar 2 abad sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa di Jawa, Buitenzorg/Bogor menurut penyelidikan adalah merupakan ibukota kerajaan Pajajaran, bernama Pakuan, didirikan pada 1355 Saka atau 1433 Masehi, sebagaimana tercantum dalam batu tulis tersebut. Kerajaan Hindu sunda terakhir ini hilang dari panggung sejarah setelah ditaklukkan oleh kerajaan Banten yang Islam. Peninggalan lama Bogor, yang juga menarik banyak wisatawan, adalah Arca Domas, 800 arca dengan gaya pahatan khas Polinesia, yang menggambarkan para leluhur.

Dengan ketinggian 264 meter di atas permukaan laut pada kaki Gunung Salak tanahnya subur dan menjadi pintu gerbang memasuki daerah Priangan Si Jelita, pundi-pundi komoditi kekuasaan kolonial yang berasal dari perkebunan kopi, teh, kina. Tidak mengherankan bila pada awal Revolusi, Belanda berusaha menguasai kembali Bogor untuk dapat memperoleh kembali pundi-pundinya. Akibatnya sepanjang Jalan Raya Pos dari Jakarta sampai Bogor berlumuran darah para pemuda Indonesia.

Priangan
Meninggalkan Bogor berarti memasuki daerah Priangan Si Jelita. Priangan lain dari Jawa Tengah. Penduduknya, etnis Sunda, bila bicara laksana menyanyi. Tidak mengherankan bila kesenian rakyat di sini hidup, berkembang, kreatif, dan lebih dari itu: komunikatif. Dahulu etnis Sunda dinamakan oleh VOC sebagai Jawa Gunung. Dan etnis Sunda memang menduduki tanah pegunungan dan puncak-puncaknya bertebaran seperti sedang melakukan rapat abadi.

Penduduk Priangan tidak menyukai kekerasan. Raja-raja disini memerintah tidak bertarung satu-sama lain untuk memperebutkan tempat nomor satu "di atas dunia". Mereka berunding, memecahkan kesulitan bersama melalui dialog dan persetujuan bersama. Bisa dimengerti bila kerajaaan Banten yang Islam dengan mudah dapat menyapu kerajaan Hindu Pajajaran tanpa susah-payah.

Bumi Priangan dan masyarakatnya memang lain daripada yang ada di timurnya, Jawa Tengah, Jawa Timur, sampai Bali, yang menulis sejarahnya dengan perang tanpa henti. Kompeni Belanda memasuki wilayah Priangan tanpa susah-payah. Dan Priangan si Jelita dibikin jadi pundi-pundi komoditi untuk membiayai kekuasaan dan keuntungannya melalui koffie-stelsel alias tanampaksa kopi. Pada segi lain masuknya kekuasaan dan orang-orang Kompeni juga mengakibatkan pergaulan seks, menyebabrkan darah Eropa dalam kehidupan Pribumi. Sampai-sampai Matahari, mata-mata mahsyur dalam Perang Dunia I adalah juga dilahirkan di Bumi Priangan ini.

Jalan Raya Pos menjurus ke tenggara sejauh kurang lebih 10 kilometer sampai ke Ciawi di kaki gunung Pangrango. Menghindari kenaikan-kenaikan punggungan gunung, Jalan Raya Pos membelok ke timur, menyusuri Ciliwung dan barang 12 kilometer kemudian sampai di Cisarua. Sepanjang jalan, kemana mata memandang, terhampar kebun-kebun teh, bertingkat-tingkat mendaki gunung Pangrango. Ruas Jalan Raya Pos Cisarua-Cugenang sepanjangn 12 kilometer memotong punggungan utara Gunung Pangrango, Kompeni menamainya waktu itu Gunung-Gunung Biru.

Sewaktu jalan raya ini dibikin Cisarua adalah milik tuantanah Riemsdijk. Dan justru disini jalan raya itu mulai menanjak. Tak dapat dibayangkan berapa banyak kurban berjatuhan karena kecelakaan, kelelahan, kehabisan tenaga atau kelaparan. Pada waktu ituu belum menjadi kebiasaan menggunakan dinamit sehingga punggung gunung yang terjal berlipat-lipat itu harus dipapras dengan tenaga manusia. Titik tertinggi yang dilewati adalah Puncak. Sebelum sampai ke Cugenang akan dilewati Cipanas. Tempat ini mendapatkan namanya karena disini terdapat sumber air panas dengan suhu mencapai 43 derajat celcius dengan kadar garam rendah.


Cianjur
Hanya menuruni beberapa kilometer lereng timur Gunung Gede dan orang pun sampai ke Cianjur, 460 meter di atas permukaan laut. Wilayahnya mempunyai keistimewaan alam: di bagian utara sungai-sungai mengalir ke utara sampai ke Laut Jawa. Di bagian selatan mengalir ke Samudera Hindia. Kabupaten ini terkenal karena gending gaya Cianjurnya yang biasa dinamai: Cainjuran. Dari Cianjur ke timur sejauh 40 kilometer Jalan Raya Pos mendatar dan mendaki lagi waktu memasuki Padalarang. Pada waktu jalan ini dibikin atau ditingkatkan Padalarang masih berupa dusun yang tak berarti. Sekarang semasa Orde Baru kota kecil ini biasa tercemar debu karena gempuran pada bukit-bukit kapurnya guna pembangunan.







No comments:

Post a Comment