Pages

Thursday, June 23, 2011

Jalan Raya Pos, Jalan Daendels Part 1

"Indonesia adalah negeri budak. Budak diantara bangsa dan budak bagi bangsa-bangsa lain"
----Pramoedya Ananta Toer----




Sumber Tulisan : Sebuah buku hasil karya Pramoedya Ananta Toer dengan judul Jalan Raya Pos, Jalan Daendels.






Jalan Raya Pos, Jalan Daendels, membentang 1000 kilometer sepanjang utara pulau Jawa, dari Anyer sampai Panarukan. Sejak dapat digunakan pada 1809 telah menjadi infrastruktur penting, dan untuk selamanya. Dengan jatuhnya Hindia-Belanda pada tahun 1942. disusul masa pendek pendudukan militerisme Jepang sampai 1945, berlanjut dengan Revolusi 1945-1949, orang sudah tidak peduli lagi bahkan tidak ingat dengan namanya.




Anyer
Pada Januari 1808 Daendels selamat sampai di Jawa. Ia mendarat di Anyer tanpa surat identitas dan surat tugas, karena telah "hilang" dalam pelayaran penyamarannya. Anyer waktu itu adalah pelabuhan kuno, terletak pada bagian tersempit selat Sunda, tempat bersandar bagi kapal-kapal layar dari Eropa dengan tujuan Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Cina, Jepang, dan Filipina.

Tetapi Anyer yang didarati Daendels bukan Anyer yang sekarang. Pantai dan beberapa desanya telah disapu habis oleh gelombang pasang letusan Krakatau pada tahun 1883. Sekarang Anyer terdiri dari Anyer Lor (utara) dan Anyer Kidul (selatan). Anyer Lor adalah bekas Anyer sebelum gelombang Pasang Krakatau. Pelabuhan alamnya yang dahulu membuatnya jadi bandar internasional telah mendangkal.

Anyer secara tradisional adalah bagian dari Kesultanan Banten dan secara tradisional juga Kesultanan Banten dan rakyatnya melawan penjajahan asing. Jadi waktu pertama kali Daendels menginjakkan kakinya di Anyer, tempat ini adalah bandar yang ramai, tempat pertemuan antara kapal-kapal layar cina yang hendak pulang dengan yang hendak meneruskan pelayaran ke Barat. Tidak mengherankan apabilan Daendels mengira di tempat ini pula Inggris bakal mendarat untuk memulai penguasaannya atas seluruh Jawa. Maka disini juga ia perintahkan mendirikan benteng yang cukup besar.

Keberhasilannya sampai ke Jawa saja telah membuat ia berhak menggunakan gelar Maarschalk van Holland berdasarkan amanat lisan (semua dokumennya telah "hilang" dalam pelayaran) dari raja Belanda, Lodewijk Napoleon. Untuk orang berhati baja seperti dia, ketiadaan dokumen bukan suatu halangan. Sebagai Maarschalk dan Gubernur Jenderal ia tempuh perjalanan darat ke Batavia selama 4 hari, langsung menggeser Gubernur Jenderal Wiese, langsung merampas hal-hak menentukan kebijaksanaan pemerintahan di Jawa, pulau yang belum direbut Inggris dari Belanda, bermulalah pemerintahan satu orang alias diktator militer Daendels.

Pada tahun 1809 terlaksana pembangunan Jalan Raya Pos, Jalan Daendels, Anyer-Panarukan, sekitar 1000 kilometer, dalam waktu satu tahun. Satu rekor dunia pada masanya. Anyer-Batavia yang pernah ditempuhnya dalam 4 hari, setelah ruas Jalan Raya Pos tersebut selesai, dapat ditempuh hanya dalam waktu 1 hari. Dan Anyer-Panarukan dibandingkan pada masanya sama dengan jalan Amsterdam-Paris.

Cilegon
Sekitar 19 kilometer ke barat, Jalan Raya Pos sampai ke Cilegon. Juga tempat ini secara tradisional merupakan wilayah Kesultanan Banten dengan tradisi perlawanannya terhadap Kompeni dan kolonialisme. Sejarah tak dapat melupakan betapa terjadi pemberontakan rakyat pada 1887 dengan dibunuhinya penduduk Eropa termasuk Asisten-Residennya.

Dari Cilegon ke barat laut sebuah ruas jalan 14 kilometer menghubungkannya dengan Merak di lepas pantai. Untuk pertahanan menghadapi serbuan Inggris, juga Daendels membangun benteng disini untuk mengawasi perairan Selat Sunda. Tetapi pembangunan benteng tersebut gagal total. Baik para pekerja paksa pribumi, serdadu infanteri maupun kesatuan-kesatuan artileri disapu habis oleh malaria.

Sekarang Cilegon telah menjadi daerah industri dan di atas puing pabrik peleburan besi-baja telah berdiri pula industri itu juga.

Banten
Sepuluh kilometer ke barat Cilegon, Jalan Raya Pos sampai ke Banten Lama, bekas pusat Kesultanan Banten. Sejarah panjang perlawanan Banten terhadap Kompeni dan kolonialisme mewariskan pada penduduknya sampai sekarang kebanggaan atas wilayah asalnya sebagai keturunan leluhur pelawan.

Bangsa Eropa pertama yang mendarat di bandar Banten adalah Portugis pada tahun 1522. Langsung saja terjadi persekutuan dan persahabatan. Soalnya Pan-Islamisme sporadik yang berkembang untuk melawan kekuasaan laut Portugis-Spanyol telah mengancam kerajaan Banten. Maka terhadap ancaman peng-Islam-an yang datang dari kerajaan Islam pertama Demak, Banten serta-merta menyambut gembira prakarsa Portugis yang hendak mendirikan benteng di Banten. Lima tahun kemudian Portugis datang lagi untuk melaksanakan pembangunan benteng. Terlambat, Banten telah jatuh ke tangan kekuasaan Islam. Portugis yang disambut dengan cemohan terpaksa kembali ke Malaka. Sejak saat itu Banten diperintah oleh para Raja atau Sultan Islam.

Jauh hari sebelum Daendels mendarat di Anyer, pada 1596 untuk pertama kalinya datang armada Belanda untuk berbelanja lada. Sebagaimana halnya dengan kedatangan Portugis tiga perempat abad sebelumnya, juga Belanda disambut dengan senang hati oleh Banten. Soalnya pada tahun tersebut, Pangeran Mohammad, pendiri Mesjid Agung Banten, gugur dalam perang melawan Palembang. Banten mengharapkan bantuan dari Belanda untuk melawan Palembang, akan tetapi nyatanya Belanda menolak.

Dengan panji-panji Islam, Banten memperluas pengaruh dan kekuasaannya ke seluruh Jawa Barat dalam dekade pertama abad 17. Di sini kekuatan Banten tertumbuk pada kekuatan Mataram yang telah menundukkan seluruh Priangan dalam baris-jauh tentaranya untuk mengusir kompeni Belanda dari Batavia. kuatir pada Hegemoni Mataram, Banten menolak ajakan Mataram untuk bergabung dalam mengusir Kompeni Belanda dari Batavia.

Kemudian terjadilah kisah nyata spionase untuk menjatuhkan Banten yang terjadi pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal van Imhoff. Jadi dalam pemerintahan van Imhoff, seorang gadis Arab, Fatimahh, oleh Kompeni Belanda dipersembahkan pada Sultan Arifin dari Banten. Begitu Diperisteri, Fatimah langsung melancarkan aksi-aksinya sesuai dengan yang dikehendaki Kompeni Belanda. Langkah pertama adalah mengajukan dakwaan pada Sultan bahwa putera mahkota Banten berniat hendak menyerbu Istana, membunuh Sultan, dan mengangkat dirinya menjadi Sultan Banten. Karena lebih percaya pada Fatimah tanpa pikir panjang putera mahkota ditangkap, diserahkan pada Kompeni dengan permintaan agar dibuang ke Ambon.

Rakyat Banten yang pendapatnya tentang Sultan baru tidak dipinta, menjadi marah dan meledak pemberontakan besar pada Oktober 1750. Terkena sekali pukul tentara Fatimah hancur. Juga bala bantuan Kompeni yang didatangkan dari Batavia termasuk kesatuan-kesatuan artilerinya. Harta kekayaan Kompeni yang ikut binasa adalah setengah juta pon lada, yang dikumpulkan Fatimah untuk Kompeni. Kesatuan-kesatuan Kompeni terhalau sehingga tinggal bertahan dalam dua bentengnya, Speelwijk dan Diamant. Fatimah sendiri yang sudah tidak dapat diharapkan lagi sesuatunya oleh Kompeni, bersama dengan kemenakannya, Sultan Banten, oleh Belanda dinaikkan ke kapal dengan diam-diam dan disembunyikan di pulau Damar/Edam di teluk Batavia sampai meninggalnya pada tahun berikutnya. Walaupun demikian pada akhirnya Belanda berhasil juga menguasai Kesultanan Banten. Banten menjadi bawahan Kompeni dan mesti menyerahkan upeti komoditi kepada Kompeni. Dengan demikian berakhir pula persaingan dagang antara Banten dan Batavia.

Banten semasa pemerintahan Sultan Ageng dalam paroh kedua abad 17 adalah kerajaan pribumi pertama yang dengan sadar atau tidak menyerap kekuatan dari Eropa. Sultan memerintahkan pembangunan kapal-kapalnya menurut model Eropa sehingga mampu menempuh pelayaran jarak jauh, menjelajahi seluruh Nusantara, Filipina, dan India. Dengan sendirinya dengan membawa komoditi untuk pasar internasional. Awak-awak kapalnya pun banyak terdiri dari orang-orang Eropa. Seorang pelarian, tukang batu, Hendrik Lucasz. Cardeel, memasukkan teknologi bangunan Eropa ke Banten. Karena jasanya lah dengan membawahi para tukang Pribumi dapat dibangun bangunan-bangunan besar dengan teknologi Eropa, antaranya Tamansari Tirtayasa dan Mesjid Raya Banten, yang masih tegak berdiri sampai sekarang.

Tidak mengherankan, dengan berbagai alsan, Daendels dalam tahun pertama jadi Gubernur Jenderal telah meporak-porandakan kekuasaan Sultan Banten dan menyita bagian-bagian tertentu wilayahnya. Ia curiga jangan-jangan Banten bermain mata dengan Inggris sebagaimana halnya dengan kerajaan Palembang. Bukan kebetulan bila Daendels memerintahkan pembangunan jalan Anyer-Batavia sebagai prioritas utama. Dengan adanya jalan ini secara teoritis tentaranya akan dapat segera didatangkan dari Batavia bila Inggris menyerbu.

Serang
Dari Banten lama Jalan Raya Pos membelok ke selatan, disebabkan memang tidak bisa menembus ke timur, sebuah padang rawa-rawa pantai yang seakan tak ada tepinya, dan secara turun temurun menjadi pembiakan malaria yang mematikan.

Serang masih berada dalam wilayah (Keresidenan) Banten, Ibukota Kabupaten Lebak. Tempat ini menjadi mahsyur dalam sejarah Indonesia. Di sini pengarang Belanda Multatuli mendapatkan inspirasinya untuk menulis karya abadinya, Max Havelaar, yang memberikan kesaksian historis betapa orang Jawa teraniaya oleh penjajahan Belanda. Multatuli yang nama aslinya Edward Douwes Dekker tidak bisa menerima watak birokrasi penjajahan bangsanya dan sikap tak acuh terhadap rakyat jajahannya yang menderita. Di pihak lain karya tersebut membangkitkan kesadaran pada para intelektual pribumi akan keadaannya sebagai rakyat jajahan, yang landasan pengetahuan dari pendidikan Eropa yang mereka terima, berkembang menjadi semangat nasional.

Serang, ibukota Kabupaten Lebak, juga melahirkan intelektual pribumi pertama, Pangeran Ahmad Djajadiningrat. Pribumi pertama yang menamatkan HBS 5 tahun, juga pribumi pertama yang pernah duduk sebagai anggota Dewan Hindia, Pemerintah Agung Hindia, dan satu-satunya Pribumi yang pernah jadi anggota delegasi Belanda di Volkenbond.

Tangerang
Tangerang sebagai nama tempat adalah ejaan salah warisan Belanda. Semestinya ditulis dan diucapkan : Tanggeran.

Jalan Raya Pos dengan sejumlah tikungan ke tenggara dan timur laut sejauh lebih dari 50 kilometer membawa orang sampai ke Tangerang. Wilayah ini pernah menjadi pemusatan para pemberontak yang berhasil menggulingkan Ratu Fatimah, gadis Arab itu, dari Kesultanan Banten. Pemimpinnya yang kharismatik, Kyai Tapa, meluaskan perlawanannya terhadap kompeni Belanda sampai ke seluruh Priangan, dan untuk waktu yang lama mengusik tanampaksa kopi, darah hidup Kompeni.

Sampai dengan kemerdekaan nasional, penduduk lebih suka menamai tempatnya : Benteng. Memang perbentengan kuat pernah didirikan Kompeni untuk menghadapi Banten yang rakyatnya terus bergolak, dan dengan demikian melindungi Batavia.

Tanahnya yang datar dan subur menghasilkan beras, juga berbagai palawija, terutama kedelai. Ini membikin Tangerang menjadi produsen kecap sejak jaman Kompeni Belanda, jaman Hindia-Belanda, Jepang, sampai Kemerdekaan Nasional. Kecap produksi sini juga dikenal dengan nama kecap Benteng, dan selalu dipromosikan sebagai kecap kelas satu. Kenomor-satuan-nya menyebabkan Bung Karno bisa membikin ungkapan "ngecap" yang berarti mempromosikan diri sebagai yang nomer wahid.

Tangerang dibelah oleh sungai Ci Sadane. Konon dahulu sungai ini jadi perbatasan antara Kesultanan Banten dengan Kerajaan Jayakarta. Benteng yang didirikan Kompeni disini dinamai Tangerang, yang menyebabkan mulai dari sini sampai ke muaranya Ci Sadane dinamai Kali Tangerang. Belanda telah menggali kanal yang menghubungkan ibukota Tangerang melalui air dengan Ci Sadane dan kali Angke di Batavia. Dan sekarang Tangerang telah menjadi kota industri di samping perdagangan, juga kota pemukiman buruh dan birokrat yang bekerja di Jakarta. Maka lalu-lintas Tangerang-Jakarta termsuk terpadat di Indonesia.


No comments:

Post a Comment